“Beri tahu aku, Tom, bagaimana sebenarnya orang yang paling mencintai kita,”
Seseorang pernah menanyakan pertanyaan itu padaku. Dia adalah temanku.
“Kenapa kau menanyakan itu?” aku balik bertanya.
Dia terlihat ragu untuk berkata apa selanjutnya. “Yah, pertanyaan itu terus membayangi pikiranku akhir-akhir ini,” katanya kemudian seraya memalingkan wajahnya dariku.
Aku yakin sekali ada yang salah. Mana mungkin dia menanyakan pertanyaan itu tanpa alasan yang yang jelas?
“Aku yakin kau menyembunyikan sesuatu dariku. Jika kau masih menganggapku sahabat, dan kau masih memercayaiku, aku akan menjadi pendengar setiamu saat ini.” kataku.
Dia terdiam sejenak. “Jujur, Tom, masalah seperti ini adalah masalah yang belum pernah aku hadapi sebelumnya. Masalah ini sangat pribadi. Dan kau harus berjanji padaku tidak akan mengatakan semua ini pada siapapun.”
“Astaga, apa kau berpikir kau baru mengenalku kemarin sore? Aku ini sahabatmu!” aku meyakinkannya.
Dia menarik nafas panjang. “Baiklah, aku akan menceritakannya.”
# # # #
Aku benar-benar terkejut mendengar ceritanya. Dia menceritakan padaku telah berselisih dengan ayahnya. Coba kau bayangkan, seorang ayah! Manusia yang dengan senang hati membesarkan dan merawatnya. Dan demi urusan keamanan, kurasa aku tak perlu memberitahumu siapakah orang yang bercerita padaku itu.
Perselisihan itu terjadi karena¾walaupun saat ini aku yakin ada yang mengatakan hanya karena masalah¾dia tidak mengerjakan perintah Tuhan¾lebih tepatnya, shalat. Yah, kupikir karena dia terlalu asyik bermain, hingga dia melupakan Rukun Islam nomor dua itu.
Dia bercerita padaku dibuat bulan-bulanan oleh ayahnya.
“Aku tidak habis pikir, Tom, bagaimana mungkin ayahku memerlakukanku seperti itu. Seharusnya dia mengerti. Aku sekarang sudah menginjak kata dewasa. Aku sudah memilih jalan hidupku sendiri.” katanya dengan pandangan kosong.
“Yah, mungkin saja ayahmu mengikutiperintah agama,” kataku mencoba berbicara. “aku pernah mendengar sebuah dalil. Kalau tidak salah berbunyi, ketika umur seorang anak menginjak sepulu tahun, kemudian anak itu tak mengerjakan shalat, orang tua wajib memukulnya. Aku tidak benar-benar yakin apa yang kukatakan betul. Yang pasti, aku pernah mendengar dalil itu.”
Dia terdiam sejenak. Entah mencoba mencerna kata-kataku atau memikirkan hal lain. Kemudian, sekali lagi, dia menarik nafas panjang dan menghembuskannya cepat-cepat.
“Sejak saat itu, Tom, aku tak sekalipun berbicara dengan ayahku. Aku benar-benar marah dengan itu. Bahkan, ketika ayahku berangkat ke Palembang, aku tidak sudi mengantarnya ke bandara.” ucapnya dengan nada pelan.
“Separah itukah?” tanyaku mengerutkan kening.
Lalu pandangannya kosong.
“Jujur, Tom, aku tidak mengerti pada diriku sendiri. Berkali-kali ibuku menasehatiku. Tapi kata-kata ibuku hanya sebatas lewat saja dalam kepalaku. Tak satu katapun yang membekas. Ayahku seakan-akan telah terhapus dari hatiku.” katanya lalu menundukkan kepala.
“Kau tahu,” katanya lagi, “sejak ayahku berada di Palembang, dia mencoba terus menghubungiku. Setiap hari, puluhan panggilan dan sms masuk ke ponselku. Tentusaja, semuanya dari ayahku. Namun aku tak mengiraukannya. Panggilan-panggilan itu tak kuangkat. Dan pesan-pesan itu tak kubalas.”
Aku mengalihkan pandanganku darinya, menatap langit yang mulai memerah karena matahari mulai menyentuh garis cakrawala. Namun, meskipun begitu, aku tidak bisa menyembunyikan keterkejutanku mendengar kisahnya. Ketika dia mengatakan tak sekalipun berbicara dengan ayahnya, aku merasakan dalam hatiku mencul rasa yang berbeda, perasaan yang belum pernah aku rasakan sebelumnya.
Lalu, ketika dia berkisah tak mengantar ayahnya ke bandara, perasaan yang lebih dahsyat dan aneh menusuk hatiku. Aku tidak tahu perasaan tiu rasa kasihan atau apa. Yang pasti, aku tak bisa mengunggkapkannya dengan kata-kata.
Mungkin kau tak tau dimana tempat tinggal kami. Biar kuberitahu, kami tinggal di Surabaya, kota yang oleh orang-orang disebut dengan Kota Pahlawan.
“Menurutmu, apakah sikapku benar, Tom?” tanyanya tiba-tiba.
Mendengar pertanyaan itu, hatiku dihinggapi rasa bingung dan bimbang. Di satu sisi, tentusaja, menurutku sikap yang telah diambilnya salah. Sementara di sisi lain, aku tak ingin kehilangan sahabat seperti dia. Namun, aku harus menjawab pertanyaannya.
Tapi, jika aku mengatakan dia mengatakan dia salah, bukan tidak mungkin dia akan membenciku. Dan yang akan terjadi, aku menjadi orang selanjutnya yang tidak berbicara dengannya setelah ayahnya. Tentusaja, aku tak ingin hal itu terjadi.
Aku tediam sejenak. Kemudian, dengan ragu aku berkata, “Maafkan aku jika jawabanku menyinggung perasaanmu, tapi, kurasa sikap yang kau ambil salah.”
“Sudah kuduga. Tentusaja, sikap yang kuambil salah. Aku ingin sekali meminta maaf pada ayahku. Tapi, dibagian lain hatiku mengatakakan jangan. Saat ini aku merasa seperti anak yang tidak berguna,” ucapnya kembali menundukkan kepala.
“Tidak, kawan, kau kan anak yang tidak berguna seperti yang kau katakan. Justru sebaliknya, kau adalah harapan ayah dan ibumu. Menurutku, kau benar-benar anak yang berguna.”
Langit semakin memerah. Gema suara adzan maghrib tak lama lagi akan terdengar. Dan tiba-tiba ponselnya berdering.
“Ada pesan,” dia memberitahuku.
Dia membaca pesannya. Kemudian, tanpa kumengerti, dia menatapku.
“Ada apa?” tanyaku.
“Ayahku sudah berada di Surabaya,”
Aku mengerutkan kening lagi. “Maksudmu, dia pulang ke Surabaya?”
“Aku juga tak mengerti. Setahuku, dia harus tinggal di Palembang sedikitnya tujuh bulan. Tapi sekarang baru memasuki bulan ke tiga. Dan aku diminta pulang sekarang.”
Tiba-tiba, sesuatu muncul begitu saja dalam benakku.
“Nah, inilah kesempatanmu. Inila saatnya kau mminta maaf. Walaupun kau berjkata berat sekali meakukannya, tapi aku benar-benar yakin, kawan, dalam hatimu masih ada ruang untuk orang yang telah membesarkanmu.” kataku menyentu dadanya. “Percayalah padaku, kau pasti bisa melakukannya.”
Dia terdiam dan turtunduk. Lalu, setelah menarik nafas panjang, dia berkata, “Baiklah, akan kucoba.”
Aku tersenyum mendengarnya. Lalu, suara adzan maghrib melau bergema. Sementara langit semakin gelap mulai diterangi oleh lampu-lampu indah yang berkelipan di selruh bangunan-bangunan Kota Pahlawan.
# # # #
Esoknya, aku kembali bertemu dengannya. Kurasa sedikit ada yang berbeda denga wajahnya. Tapi aku tak tahu dimanakah letak perbadaan itu.
“Aku tidak tahu bagaimana harus mengatakannya, Tom,” katanya tersenyum. “Ternyata ayahku sudah lama memaafkanku. Justru sebaliknya, Tom, dia meminta maaf telah memerlakukanku seperti itu.”
“Syukurlah, aku benar-benar senang mendengarnya,” ucapku ikt tersenyum. “Lalu, berapalama ayahmu berada di Surabaya?”
Tiba-tiba raut wajahnya menampakkan kesedihan.
“Itulah yang kusesalkan. Ayahku sudah kembali ke Palembang. Kata ibu, ayah berangkat tadi pagi sebelum subuh.” ucapnya pelan.
Tanpa kusadari, aku juga sedih dan terkejut mendengarnya. Dan aku menyadari sesuatu.
“Aku benar-benar tak menduganya. Yah, ayahku pulang ke Surabaya hanya karena aku.”
“Sudahlah, kawan. Pepatah mengatakan, yang lalu, biarlah berlalu. Sekarang kau harus menatap masa depanmu.”
Dia menatapku. Dan kami berdua tersenyum.
# # # #
Setelah mengingat kenangan itu, aku sadar akan sesuatu. Kemudian aku menulis dalam ponselku,
Kawan, ni q, Tom. Tb2 ja q trngat ms lalu. Dn q sdr, q blm menjwb prtaxaan u, bagaimana sbnrx orng yg mencntai qt?
Q rs jwbnq adlh: orng yg plng mncintai qt adlh orng yg senntiasa mengjak qt beribadah.
Lalu, dengan tersenyum, kukirim pesan itu padanya.
Godric Hollows, 25 Juli 2010
Lord Ghe-Oghe
The Half-Bood Prince